
Sepanjang umur masih dikandung badan, pilihan pasti mendatangi setiap insan. Kita diharuskan untuk senantiasa memilih yang terbaik dari yang disediakan. Yang terbaik itu belum tentu yang paling sempurna, atau memenuhi kriteria kita, akan tetapi yang terbaik itu yang paling mendekati keridhoan Allah. Karena, kalaupun memenuhi kriteria kita, tetapi tidak mendapat Ridho Allah, pilihan itu menjadi tidak berkah. Akan selalu ada saja kejadian yang mengisyaratkan bahwa Allah sebenarnya sedang mengingatkan kesalahan pilihan kita. Artinya, kita memang harus menerima konsekuensi ketika salah memilih.
Pun, ketika “benar” memilih, Allah akan tetap menguji kemantapan pilihan itu. Jika Allah Ridho, Dia akan memantapkan hati, sehingga kita dikuatkan untuk melangkah bersama pilihan itu.
Kita dibekali akal pikiran, hati nurani, adalah sebagai sarana memperlancar pemilihan keputusan. Selain bekal internal dalam diri, kita juga senantiasa dikelilingi teman-teman yang siap kita jadikan mitra berbagi pikiran dalam memilih.
Namun, teman yang bagaimanakah yang membantu kita dalam memilih? Tentu, teman yang kita mintakan bantuan adalah yang sering bergaul dengan kita, sehingga kita mengenal seraya mempercayainya, dan dia pun mengenal kekurangan dan kelebihan diri kita.
Bukan berarti tidak adil jika kita sangat “selektif” dalam memanfaatkan teman untuk meminta pendapat mereka. Akan tetapi, bukankah masakan yang enak dihasilkan dari bahan-bahan dan bumbu yang baik mutunya? Apakah kita mengharapkan suatu bantuan pemikiran yang baik keluar dari orang yang tidak baik, walaupun mereka (kita sebut) “teman” kita sendiri? Tentu tidaklah demikian hukum alamiah yang berlaku.
Karena itu, orang-orang yang duduk menjadi wakil rakyat di DPR, haruslah orang yang bermutu baik dan bisa dipercaya. Jangan memilih wakil rakyat yang “sekedar kenal” saja. Tetapi dalami kepribadiannya, kenali sejarah hidupnya, perhitungkan kapasitas keilmuan bidang keahliannya, dan yang paling penting, bagaimana akhlaqnya kepada keluarga dan tetangganya. Apakah ia seorang yang rela menghamburkan uang “hutang sana-sini”nya demi menggenjot suaranya? Ataukah pernah dijumpai dirinya berbanjir keringat demi rakyat tanpa tatapan penuh “saksi mata” di sekitarnya?
Karena itu, pelajarilah sesuatu hingga memahaminya baik-baik. Kenalilah luarnya dan dalamnya. Kepercayaan yang baik lahir dari pemahaman, bukan dari “sekedar tahu” saja kemudian dipaksakan untuk percaya.
Sedangkan melahirkan pemahaman membutuhkan “usaha” untuk mencari tahu. Bagaimana kita menghindari dari bahaya dan mendapatkan manfaat kalau kita tidak mempelajarinya lebih dulu? Dengan inilah, manusia terbagi ke dalam beberapa golongan:
1. Orang yang tidak tahu, dan tidak ingin tahu lebih banyak hal lagi. Dan sepanjang hidupnya dia tetap dalam ketidaktahuannya. Sehingga, dia tak peduli sekiranya jatuh ke dalam ancaman bahaya.
2. Orang yang tidak tahu, tetapi dia kemudian belajar untuk menjadi tahu.
3. Orang yang sudah tahu, tetapi dia acuh dengan pengetahuannya. Dia tetap melanggar bahaya walaupun sudah tahu resikonya. Tetap melakukan kesalahan karena tak peduli konsekuensi di belakangnya. Dia menggunakan pengetahuannya untuk menipu orang-orang di sekitarnya.
4. Orang yang sudah tahu, dan berusaha keras untuk mengamalkan pengetahuannya dan menyebarkannya kepada yang lain. Dia mempelajari yang buruk untuk memperingatkan dirinya sendiri dan orang lain dari bahaya. Dan dia mempelajari yang baik untuk mengajak diri dan orang lain mengambil manfaat dari hal yang baik itu.
Maka, seharusnya kita ikuti teladan sahabat Nabi bernama Hudzaifah, “Manusia biasanya bertanya pada Rasulullah saw. tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku.”
Karena itu, menuntut ilmu agama secara rutin adalah keharusan. Bagaimana kita tahu ada bahaya atau kebaikan dari sesuatu jika tidak kita pelajari terlebih dahulu? Bagaimana kita tahu halal dan haramnya sesuatu jika tak kita telusuri ilmunya?
Sedangkan ilmu agama begitu luas, lebih dari sekedar “khutbah Jumat” sepekan sekali. Lebih dari “hikmah shubuh” televisi di pagi hari. Ilmu agama membutuhkan keikhlasan dan kesadaran, bahwa manusia lebih banyak “tidak tahu”nya daripada “tahu”, bahwa pikiran manusia sangatlah mudah “lupa”, seperti halnya kuda yang tak diikat atau motor yang tak dikunci setang, akan mudah hilang dicuri.
Kata Nabi saw, “Barangsiapa Allah kehendaki kehidupan yang baik, niscaya akan dipahamkan dalam ilmu agama.” (Hadits Bukhori Muslim)
Semoga kita dikuatkan untuk terus menuntut ilmu agama di zaman penuh kekacauan informasi ini. Zaman di mana yang buruk terlihat baik, dan yang baik malah terlihat buruk.
Hilangkan keraguan dengan mengenali segala sesuatunya lebih dalam.
“Da’maa yuriibuka, ilaa maa laa yariibuk.”
“Tinggalkan apa yang meragukanmu, (beralihlah) kepada apa yang tidak meragukanmu.” (Arba’in Nawawi No. 11)
0 komentar:
Posting Komentar